September 16, 2009

script no. 2

ada perubahan dalam script ini dan script yang selanjutnya, yang pertama; sengaja tidak menampilkan parenthetical atau deskripsi adegan yang dilakukan seperti; senyum, tertawa, ketus, duduk, berdiri, menggerakkan tangan dan lain-lain, sehingga pembaca dapat berekspresi dengan gaya dan karakter sendiri.
yang ke dua; setiap script tidak berdasarkan sebuah tema tertentu, misalnya hari kemerdekaan Indonesia dan lain-lain. karena mengumpulkan ide sebuah dan menuangkan ke dalam sebuah script membutuhkan waktu yang lebih. untuk itu akan dibuat campur-campur tema dalam sebuah script sehingga pembaca bisa mengambil satu atau lebih cerita sesuai dengan kebutuhan masing-masing. selain itu akan membuat saya lebih cepat menyampaikan sebuah cerita dan tidak terhalang harus menjadikan dan menuntaskan sebuah tema dalam script tersebut…
semoga perbahan ini menjadikaan saya lebih produktif dan lebih baik… tabik


menjadi DOKTER... adalah cita-cita yang paling sering muncul dari anak-anak jika ditanya hendak jadi apa jika besar nanti, semua profesi dokter.. apakah dokter umum, dokter anak, dokter jantung dan lain-lain dokter.. pokoknya dokter… dan tidak ada seorang pun anak yang bercita-cita jadi… seorang PELAWAK

DOKTER juga merupakan profesi pilihan pertama orang tua bagi anak-anaknya, dan juga pilihan pertama orang tua untuk menentukan MENANTU… dengan punya anak atau menantu seorang dokter, para orang tua berharap kelak anaknya bisa hidup mapan, tidak sengsara, dan yang penting.. harkat, martabat dan gengsi orang tua dan keluarga terangkat tinggi jika anak atau menantunya seorang DOKTER… dan tidak ada satu pun orang tua yang bercita-cita punya menantu … seorang PELAWAK

menjadi DOKTER memang merupakan profesi idaman, terpandang, menjadi masyarakat kelas satu, rumah besar dan bagus, mobil mewah, gaji besar, fasilitas kelas satu, dan kerjanya tidak perlu mengeluarkan banyak keringat... di amerika ada seorang dokter bernama dokter DOLITTLE… karena memang seorang dokter itu memang DO.. LITTLE

seorang Dokter di tempat saya berobat.. setiap panjang lebar keluhan yang saya sampaikan, Dokternya hanya berucap.. mmmm… mmmm… yaa..yaa… “dokter badan saya panas.. kadang batuknya tidak berhenti.. tenggorokan saya gatal, sakit dan perih.. lihat saja Dok tenggorokan saya”… lalu saya buka mulut saya.. si dokter hanya lihat-lihat sambil menggunakan sebuah senter kecil dan hanya bilang…”mmm… mmmm… yaa..yaa”… “Dok.. perut saya jadi sebah dan kembung dan setiap saya makan selalu saya muntahkan lalu kepala menjadi pusing dan jika sudah pusing dunia serasaa berputar dan kenapa air mata saya jadi keluar banyak ya Dok?” dia hanya letakkan stetoskop nya ke bagian-bagian tubuh sambil.. “mmm…mmmm… yaa..yaaa”…….. dan setelah itu baru bicara agak sedikit panjang…. ”biaya periksanya seratuslimapuluhribu rupiah dan obatnya tigaratusribu rupiah”………………

suatu saat di Dokter yang sama saya mencoba untuk tidak menyampaikan keluhan saya, saat itu saya sangat sehat sangat bugar, sesampai di sana saya temui Dokter itu, lalu saya hanya diam.. tidak bicara.. tidak menyampaikan keluhan apa pun dan Dokter itu pun tidak bicara sesuatu pun.. melihat dan memperhatikan saja, sambil “mmm…mmmm… yaa..yaa”… dan setelah lebih kurang sepuluh menit, dia bicara agak panjang… “anda bermasalah dengan pendengaran.. dan kesulitan bicara… biaya periksanya seratuslimapuluh ribu rupiah dan obatnya tigaratusribu rupiah”….

sebenarnya punya pasangan, anak, teman, atau apa pun hubungan relasi anda,dengan seorang DOKTER sesungguhnya sangat beresiko. yang ada dalam ekspektasi kita jika punya hubungan dengan DOKTER.. selalu kebanggaan, terpandang, gengsi.. sesungguhnya tidak....

saya punya teman seorang DOKTER yang sebisa mungkin saya hindari bertemu..karena setiap kali bertemu dan dia menyapa saya.. "hai Hari.. apa kabar?".. saya pasti bingung harus jawab apa... jika saya jawab "oh Dokter.. baik..baik.. kabar saya sangat baik".. dia akan jawab.. "okey kalo gitu saya kasih vitamin saja ya"... lalu dia berikan resep yang harus saya tebus dan kuitansi tagihan yang harus saya bayar...
dan jika saya jawab.. "oh Dokter.. sepertinya kurang baik"... dan dia akan melanjutkan.."mmm.. mmm.. yaa..yaa"... dia pandangi saya, lalu bilang lagi.. "mmm..mmm...yaa..yaa".. lalu dia bilang semuanya empatratuslimapuluh ribu rupiah...

seorang teman yang mempunyai istri seorang dokter pernah mengeluh kepada saya karena setiap dia mengeluh sakit kepada istrinya... sang istri akan sibuk mencari buku resep, menuliskan obat sekaligus kwitansi pembayaran.... dan bersiap membubuhkan stempel.. DIBAYAR LUNAS...

banyak orang tua yang melarang anaknya jadi pelawak atau punya menantu pelawak, karena masih punya anggapan yang salah terhadap profesi pelawak. pelawak itu identik dengan miskin, konyol, bodoh, naive, dan persepsi-persepsi negative lainnya… akan jadi masalah jika para orang tua ditanya tentang pekerjaan anak atau menantunya… dan ngga mungkin dijawab dengan BANGGA.. “Ya.. menantu saya seorang PELAWAK!!”…

dulu memang pelawak itu miskin karena honor manggung nya kecil dan harus dibagi-bagi dengan partner mainnya. dulu pelawak terlihat pandir dan bodoh karena lawakan yang ditampilkan lebih banyak lawakan slapstik, yang untuk buat tawa penonton meledak mereka harus lempar-lempat kue pai atau apa saja ke lawan mainnya, keplak-keplakan kepala, dorong-dorong hingga terjerambab, kalau perlu didorong sampai terpelanting sampai jatuh dari panggung.. sehingga ada cerita.. sebuah group lawak yang setelah manggung, honornya langsung habis untuk bayar biaya dokter dan pengobatan di rumah sakit… karena sehabis melawak.. lawan main lawaknya gegar otak, patah tulang, hidungnya berdarah dan memar-memar...

dulu jamannya bintang film yang laris itu bertampang indo atau blasteran, seperti Sophia Latjuba, Roy Marten, Merriam Bellina, Robby Sugara… para pelawak justru terdiri dari sekelompok orang bertampang ndeso yang terlihat pandir, terlihat aneh dengan tampang eksotis… misalnya Jojon, Bolot, Haji Bokir, Malih Tongtong.. dan masih banyak lagi.. ada juga pelawak yang blasteran Belanda.. anggota group Srimulat, namanya Paul Polii…

dulu penonton lawak di indonesia lebih senang dengan lawakan model slapstik karena penonton tidak mau berpikir menganalisa sebuah lawakan, menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain untuk tertawa, karena ada anggapan menonton lawak itu tidak perlu berpikir, sehingga senang dengan lawakan-lawakan yang mempertontonkan ke'naif'an, kebodohan dan kekerasan dalam dunia lawak.. sehingga pentas lawak layaknya arena gladiator.. semakin seorang galdiator dilukai, dipukuli sampai diadu dengan binatang buas.. penonton semakin senang... demikian juga… semakin menderita seorang pelawak, semakin penonton senang... semakin pandir dan konyol seorang pelawak semakin penonton bahagia...

tapi itu dulu...

sekarang sudah sangat berubah.. comedian.. (mereka lebih senang disebut comedian karena lebih keren dan trendi) adalah artis dan actor yang bertampang aduhai, sebut saja luna maya, cut tari dan beberapa nama aktris cantik lainnya, lalu rafi ahmad, tora sudiro, ari untung dan beberapa actor ganteng lainnya.. yang dengan tanpa ragu memainkan scene lawak dalam acara yang dibintanginya, terutama acara-acara live music dimana mereka menjadi MC atau pembawa acara.. penonton cukup apresiatif dengan teriak dan tertawa merespon kelucuan-kelucuan mereka.. sayangnya jika mereka kehabisan bahan lawakan.. mereka mulai JAIL dengan mlorotin celana lawan mainnya…

dalam beberapa kesempatan saya coba menonton acara mereka.. tidak terlalu buruk, sekarang mereka menggunaka mike yg tidak dipegang, tapi mike kecil yang di lekatkan di kerah baju atau ada yang menggunakan mike yang dipasang di kepala seperti headphone walkman dan kepala mike nya menempel di pipi dekat mulut… tidak menggunakan mike model lama yang harus dipegang dengan tangan.. sehingga.. jika ada teman mereka yang jail, 'mloroti' celana.. kedua tangan mereka bisa memegangi celana nya …

honor sebagai pelawak sekarang ini pun tidak seperti dulu yang kecil dan tidak cukup, sekarang ini bayaran seorang pelawak sangat besar dan bisa menjadikan seorang pelawak hidup makmur. sebut saja pelawak Tukul Arwana yang mendapatkan kontrak ekslusif dari sebuah tv swasta untuk menjadi ‘host’ sebuah acara ‘talk show’.. atau Eko Patrio, Budi Anduk dan beberapa nama pelawak papan atas lainnya yang menjadi kaya raya karena berprofesi sebagai pelawak..

walau pun demikian tetap saja jika ada anak gadisnya yang bilang mau menikah dengan seorang pelawak.. orang tuanya akan berkata.. “ada yang lain??”…
atau jika ditanya tetangga sebelah.. “maaf.. menantunya tugas dimana?”.. jawabannya yang diharapkan bukan.. ”ooh.. menantu saya seorang PELAWAK”…

mengapa???

tidak ada orang tua yang menantunya suka keplak-keplak kepala di hadapan orang banyak… tidak ada orang tua yang anaknya main plorot-plorotin celana di depan orang banyak… tidak ada orang tua yang menantunya belagak menjadi banci di depan orang banyak.... para orang tua lebih senang anak dan menantunya sibuk mencari buku resep, menuliskan obat sekaligus kwitansi pembayaran.... dan bersiap membubuhkan stempel.. DIBAYAR LUNAS...
“mmmm…mmmm… yaaa….yaaaa…..

terima kasih

August 14, 2009

script no.1

(salam, tenang, berwibawa, antusias)
menyambut hari kemerdekaan negara Indonesia ke 64 tahun, ini saya mau cerita tentang 'kemerdekaan'
(semangat.. menggelegar)
tahun 1945, di Surabaya, Bung Tomo teriak dengan berapi-api menyemangati para pemuda yang berperang dan berjuang melawan tentara pendudukan Belanda. Dia teriak dengan suara lantang.. urat-urat lehernya mengelembung.. dengan suaranya yang keras dan berapi-api.. dia teriakkan...
(teriak lantang. mengacung tangan terkepal di udara dengan mata nyalang.. semangat dan antusias.. menatap semua penonton)
MERDEKA ATAU MATI!!!.. MERDEKA ATAU MATI!!!.. MERDEKA ATAU MATI!!!..
(semangat.. menggelegar)
Dan hari.. ini Ryan D'Massive menyemangati kita....
(bernyanyi meniruka gaya Ryan D'Massive menyanyikan hit terbarunya 'jangan menyerah' dengan gaya Ryan yang lembut, memelas dan mendayu-dayu, posisi berdiri dengan kaki melebar dan lutut sedikit tertekuk seperti penyanyi rock, satu tangan memegang mike, satu tangan dikedepankan dengan telapak terbuka seperti orang menahan sesuatu dari depan)
Jangan Menyerah... Jangan Menyerah.. Jangan Menyerah....aaaah…….
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(semangat.. menggelegar)

bayangkan….
di zaman serba sulit.. apa-apa susah…
anak-anak sekolah yang sedang berjuang saat mengikuti UAN.. bertaruh masa depannya...
para pasien yang sedang megap-megap meregang maut.. infuse dan segala indicator yang bunyi tuut…tuut…niit.. niit...
seorang ibu yang sedang melahirkan.. berjuang antara hidup dan mati.. meregang..mengejan.. teriak…
seorang karyawan yang sedang putus asa.. di PHK oleh perusahaannya.. bingung harus apa.. anaknya belum bayaran sekolah.. ga ada uang untuk beli sembako.. sampai-sampai mau bunuh diri….
polisi-polisi yang sedang mati-matian baku tembak mengepung teroris di Temanggung..

(bernyanyi meniruka gaya Ryan D'Massive menyanyikan hit terbarunya 'jangan menyerah' dengan gaya Ryan yang lembut, memelas dan mendayu-dayu, posisi berdiri dengan kaki melebar dan lutu sedit tertekuk seperti penyanyi rock, satu tangan memegang mike, satu tangan dikedepankan dengan telapak terbuka seperti orang menahan sesuatu dari depan)
Jangan Menyerah…. Jangan Menyerah… Jangan Menyerah… aaaah…..
(jeda.. tunggu reaksi penonton)

(tenang, berwibawa, antusias)
bicara tentang ‘kemerdekaan’ selalu akan bicara dengan sosok pahlawan, yaitu orang yang berjuang untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. orang yang ikhlas mengorbankan jiwa, raga dan semua yang dimilikinya. betapa kita bangga terhadap pahlawan bangsa ini.
(sinis, keras)
tapi tahukah anda.. bahwa kebanggaan kita terhadap para pahlawan kita sangat kurang??
pernahkah anda kita memasang gambar pahlawan-pahlawan kita di t shirt.. kaos.. baju.. yang kita pakai??
tidak ada kaos yang bergambar Pangeran Diponegoro, atau Imam Bonjol, atau Cut Nyak Dien… atau Sultan Agung... Pattimura...

(senyum, sinis)
kita lebih senang memasang gambar ‘Che Guevara’… ‘Ernesto ‘Che’ Guevara’ di kaos yang kita pakai.. atau kita lebih senang memasang gambar ……
(penyebutan secara perlahan dan memberi penekanan suku kata per suku kata)
‘B O B M A R L E Y’ !!!!!..
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(senyum)
sempat bertanya seorang anak yang memakai kaos bergambar ‘Che Guevara’… Ernesto ‘Che’ Guevara..
(senyum, nada nakal)
mengapa gambar kaosnya ‘Che Guevarra’.. bukan Pangeran Diponegoro atau Tuanku Imam Bonjol?
(wajah blo’on dan polos)
… ooh.. kalo ini trendy Om…..
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(kesal, teriak)
Dammed… pasang gambar pejuang revolusi negara lain karena trendy…
pahlawan negara nya sendiri tidak trendy.. dan tidak bangga pasang gambar tersebut di dadanya..

(tenang, berwibawa, antusias)
memang bila bandingkan dengan Pangeran Diponegoro yang sopan, alim. berwibawa…agak jaim.. (pasang tampang look like gambar para pahlawan di Indonesia)

(teriak, keras dan kesal)
si Che itu.. walau cuma pake singlet saja.. tampangnya memang kereen.. trendy.. macho.. topinya baret, brewokan.. gondrong.. berbulu…. (pasang tampang look like gambar che guevarra)
(tampang jail, teriak sambil mengacungkan tiga jari)
ROCKERRR!!!
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(senyum, nada nakal tapi mulai kesal)

kemudian saya tanya lagi…. kamu tahu ‘Che Guevara’ itu siapa?...
(wajah blo’on dan polos)
oooh iya Om.. dia itu kan temennya Bob Marley….
(penyebutan secara perlahan dan memberi penekanan suku kata per suku kata, teriak dengan kesal)
‘B O B M A R L E Y’ !!!!!.. Che Guevara temennya B O B M A R L E Y!!!…..
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(senyum, nada nakal)

kenapa ngga pasang gambar Bung Karno, kan keren juga??
ooh.. itu sih kalo pemilu.. Om…
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
lagi pula gambarnya Bung Karno hanya untuk kalangan sendiri.. (jeda.. tunggu reaksi penonton)
(wajah blo’on dan polos)
lagi pula nanti di marahi Ibu..
(nakal, bersungut-sungut, menirukan suara Ibu)
ada hubungan apa??... koq menggunakan Bapak sebagai atribut…
(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(tenang, berwibawa, antusias)
ada yang salah saat kita mengapresiasikan kepahlawanan para pejuang yang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah
(jeda..)
(semangat.. menggelegar)

heroic mereka dalam merebut kemerdekaan, dengan taruhan jiwa.. raga… harta… menghiraukan anak.. istri yang mereka cintai.. bergerak maju dibawah tembakan dan desingan peluru dan dentuman bom dari musuh penjajah…
(jeda..)
(jail, teriak)

diapresiasikan dengan.. LOMBA MAKAN KERUPUK!!!… (jeda.. tunggu reaksi penonton)
(lakukan gerakan orang yang sedang lomba makan kerupuk lalu gerakan para pejuang berperang lalu gerakan orang lomba makan kerupuk)

(jeda..)
(teriak, jail)

LOMBA BALAP KARUNG…..(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(lakukan gerakan orang yang sedang lomba balap karung.. lalu gerakan para pejuang berperang… lalu gerakan orang lomba balap karung…)
(jeda)
(teriak, jail)

LOMBA BAWA KELERENG DI ATAS SENDOK……..(jeda.. tunggu reaksi penonton)
(lakukan gerakan orang yang sedang lomba bawa kelereng di atas sendok.. lalu gerakan para pejuang berperang…)

(jeda.. )
(tenang, berwibawa, antusias)

apresiasi kita terhadap perjuangan dan pengorbanan para pahlwan hanya dengan lomba-lomba yang sangat sepele…padahal kalau biayanya dikumpul bisa buat mensejahterakan para keluarga pahlawan-pahlawan yang banyak hidup prihatin..
(jeda)
(tenang, berwibawa, mendayu)

semoga saja kita semua dimaafkan oleh para pahlawan bangsa yang sekarang ini masih hidup atau pun yang gugur saat berperang merebut kemerdekaan negara ini. karena apresiasi atas pengorbanan mereka baru sebatas hura-hura yang tidak berguna.
semoga arwah para pejuang yang telah gugur mendapat balasan yang setimpal dan kemuliaan dari Nya..
dan bagi yang masih hidup dan keluarga yang ditinggalkan selalu diberi hidayah, rahmat dan keberkahan dati Tuhan…
jika pun saat ini masih hidup dalam keprihatinan….
(jeda)
(senyum, jail)

Jangan Menyerah…. Jangan Menyerah… Jangan Menyerah… aaaah…..
(bernyanyi meniruka gaya Ryan D'Massive menyanyikan hit terbarunya 'jangan menyerah' dengan gaya Ryan yang lembut, memelas dan mendayu-dayu, posisi berdiri dengan kaki melebar dan lutu sedit tertekuk seperti penyanyi rock, satu tangan memegang mike, satu tangan dikedepankan dengan telapak terbuka seperti orang menahan sesuatu dari depan)

terima kasih……

tribute to:
Dirgahayu Republik Indonesia ke 64.. Aku bangga padamu….

August 09, 2009

Stand-up Comedy di Indonesia

Stand-up comedy bukanlah jenis lawakan atau komedi yang popular di Indonesia. Para comedian Indonesia lebih senang melawak dalam bentuk group yang terdiri lebih satu orang. Tidak ada alasan yang menjelaskan mengapa para comedian di Indonesia, tidak banyak yang menggeluti jenis seni komedi yang sangat popular di amerika ini. Hanya seorang Iwel Wel yang meng’claim’ dirinya sebagai seorang comedian stand-up comedy di Indonesia, dan sekarang pun lebih banyak bermain secara group dalam kelompok komedi ‘republik mimpi’ dan ‘democrazy’ di metro tv, jarang sekali tampil sebagai comedian tunggal di sebuah pentas. Padahal ada beberapa nama seperti Otong Lenon, Krisna Purwana (Sersan Prambors), Pepeng ‘Jari-Jari’ Soebardi (Sersan Prambors) dan Butet Kertarajasa yang legendaris itu. Hampir semua dari mereka tidak menyebut dirinya sebagai pelawak stand-up comedy, bahkan seorang Butet Kertarajasa yang piawai bicara sendiri di atas panggung, menirukan tingkah polah pejabat-pejabat canggung di sebuah orde, pun memilih istilah ‘monolog’ saat tampil sendiri membawakan guyonannya, bukan seorang comedian stand-up comedy.
Ada argument asal-asalan yang bisa dikemukakan mengapa para pelaku dunia perlawakan di Indonesia ini, sepertinya enggan menggeluti stand up comedy, antara lain:

1. Melawak sendirian lebih sulit;
Target seorang comedian saat tampil adalah membuat pemirsa yang menyaksikannya tertawa, jika perlu tertawanya sampai terpingkal-pingkal, terbahak-bahak, muka merah, mengeluarkan air mata, kalau perlu sampai berguling-guling.
Bukan sebuah pekerjaan mudah jika dilakukan sendiri, perlu keterampilan melawak yang istimewa dan di atas rata-rata. karena seorang pelawak tunggal tidak mendapat bantuan materi dari orang lain, yang dalam istilah dunia lawak, patner lawak tersebut disebut sebagai ‘pengumpan’.
Masih banyak comedian Indonesia yang berpikiran, bahwa tertawa itu timbul dari hasil ‘percakapan (conversation)’, sehingga para comedian Indonesia butuh lawan main yang bertugas sebagai ‘pengumpan’ sebuah situasi dan pemain yang lain mengambil peluang dari umpan yang disodorkan untuk dieksekusi menjadi pencetus tawa. Jika tidak sebagai pengumpan, lawan main itu akan dijadikan ‘korban’ oleh patner yang lebih superior.
Dalam stand-up comedy, tertawanya penonton dihasilkan dari sebuah ‘pernyataan (statement)’ yang diawali dengan sebuah latar belakang yang diakhiri dengan sebuah kejutan situasi, dan kejutan itulah yang membuat tawa pemirsanya. Oleh karena itu seorang comedian tunggal atau stand-up comedy tidak butuh lawan main, semua disediakan dan dikendalian sendiri.

2. Faktor Penonton
Penonton komedi di Indonesia masih lebih senang dengan jenis lawakan ‘slapstick’ dan ‘physical comedy’, yang lebih mengedepankan aktivitas-aktivitas phisik yang ditampilkan oleh para comedian di panggung. Saling dorong, keplak-keplak kepala, saling menampar pipi dan aktivitas phisik yang kasar lainnya lebih mudah membuat tertawa penonton. Penonton komedi di Indonesia, juga masih senang lawakan-lawak yang bersifat lansung, dari pada sebuah lawakan yang melalui pemaparan sebuah situasi yang rumit yang harus melakukan sebuah analisa, saling mengkaitan satu keadaan dengan situasi lain, mengkaitkan dengan sebuah referensi, hanya untuk membuat tertawa.
Bapak Bendot Srimulat (alm) adalah salah satu pelawak yang memasrahkan dirinya untuk menjadi korban untuk diperlakukan secara kasar oleh lawan mainnya untuk membuat penonton tertawa, demikian juga Jojon, Bolot dan beberapa nama lain.
Film-film komedi layar lebar yang box office pun, selalu menampilkan lawakan ‘slapstick’ sebagai menu utama dalam film tersebut, termasuk yang dibintangi group komedi legendaris Warkop DKI.

Oleh karena itu, jenis lawakan stand-up comedy menjadi kurang popular dibandingkan melawak secara group, padahal kualitas dan kemapuan pelawak Indonesia sesungguhnya mampu untuk menjadikan stand-up comedy ini sebagai lawakan yang popular. Padahal banyak keuntungan yang diambil bila melawak secara tunggal, misalnya;

1. Honor tidak usah dibagi-bagi dengan anggota group lain, paling-paling hanya unuk biaya operasional dan bayar manager
2. Tidak akan takut bubar, karena di Indonesia banyak group lawak yang bubar dan tambal sulam pemain, karena alas an tidak sefaham lagi, pembagian honor yang tidak adil sampai kepada perbedaan popularitas antara satu dengan anggota lainnya dalam satu group.
3. Lebih bebas menentukan materi, tidak bergantung kepada orang lain, dan kalo ‘ngetop’, ya ngetop sendirian.. tidak perlu bergantung kepada nama besar group dan lainnya.

Berharap stand-up comedy menjadi comedy yang popular di Indonesia, sehingga menjadi alternative pilihan tontonan comedy yang lain. Berharap comedian Indonesia dapat menampilkan lawakan yang berwibawa, lawakan pintar dan lawakan yang berwawasan, megurangi lawakan yang semata mengandalkan fisik dan lawakan kasar. Dan berharap mampu membuat pintar penonton untuk lebih bisa mengapresiasikan sebuah materi yang harus berpikir dengan cepat, harus menganalisa denga cepat, membuat asosiasi-asosiasi pemikiran dengan cepat dan mengkaitkan satu referensi dengan referensi lain untuk membuat tertawa.

Semoga saja www.scriptforstand-upcomedy.blogspot.com dapat menjadi referensi untuk para comedian Indonesia, untuk berani mencoba menjadi comedian tunggal yang cerdas dan pintar, dan mendidik para penonton komedi Indonesia menjadi sebuah komunitas penikmat suguhan komedi yang pintar mengapresiasi lawakan-lawakan pintar

August 06, 2009

stand-up comedy

A stand-up comedian or stand-up comic is someone that performs comedy in an informal way, ie: talking to the audience with the absence of the theatrical "fourth wall". It is usually done by one comedian and usually with a microphone. It can be done in comedy clubs, colleges, theaters, alternative venues--almost anywhere an audience is open to comedy. The comic usually recites a fast paced succession of amusing stories, short jokes (called bits) and one-liners, typically called a monologue, routine or act. Some stand-up comedians use props, music, or magic tricks in their acts.

Many stand-up routines are similar to one man shows, with the main difference being the expectations of the audience, who, with stand-up, expect a relatively steady stream of "laughs". This in turn affects the aims of the performer, who is under great pressure to deliver those laughs.

Many smaller venues hold "open mic" events where amateur comedians can perform comedy before a live audience, offering a way for the performers to hone their craft and possibly break into the business. Stand-up comedy is considered difficult to master, because the stand-up comedian is at the mercy of the audience, which is an integral element of the act. An adept stand-up comedian must nimbly play off the mood and tastes of any particular audience, and adjust his or her routine accordingly. Stand-up is a comedic art form that is openly devoted to getting and receiving laughs from an audience above any other component of the form (unlike theatrical comedy, which creates comedy within the structure of a play and with character and situation). The skills attributed to being a stand-up comic are diverse; it is often necessary for a solitary stand-up comic to simultaneously assume the roles of a writer, editor, performer, promoter, producer, and technician. One test of a master stand-up comedian is the ability to not only face down a "heckler," but win over and entertain the rest of the crowd with a retort. Many stand-up comedians work for years to get 45 minutes of material, and usually perform their bits over and over, slowly perfecting them over time. Actor and comedian Will Ferrell has called stand-up comedy hard, lonely and vicious.

Some stand-up comedians achieve their own television programs or star in major motion pictures, reaching a level of mainstream success and recognition often unattainable in the comedy club circuit alone. Examples of this include Woody Allen, Jerry Seinfeld, Bob Newhart, Bill Cosby, Ellen DeGeneres, Robin Williams, Jim Carrey and Ray Romano.

History

Stand-up comedy has its roots in various traditions of American entertainment popular in the late 19th century, ranging from vaudeville and humorist monologues (with Mark Twain a notable master),circus clown. stand up is alo deeply rooted in Yiddish theater.some may argue that american jews are to stand up what american blacks are to music. Most early comedians were merely viewed as "joke tellers," who warmed up the audience as an opening act, or kept the crowds entertained during intermissions. Being a comedian was often considered a stepping stone to a proper career in show business. Jokes were generally broad and (oft when not broadcast) mildly risqué, and often dwelt on stock comic themes ("mother-in-law jokes," ethnic humor). "Blue humor," or comedy that was considered indecent, was popular in many nightclubs, but working "blue" greatly limited a comedian's chance for legitimate success.

The fathers of stand up comedy were the "masters of ceremony", as they often were referred to, of the "golden age" of radio broadcasting. Jack Benny, Fred Allen, and Bob Hope all came from vaudeville and often opened their listening programs with monologues and routines. These were topical, characterized by ad-libs and discussions about anything from the latest films to a missing birthday. The programs largely were split into the opening monologue, musical number, followed by a skit or story routine. Their guests were varied and included other radio comedians of the day including Burns and Allen. A "feud" between Fred Allen and Jack Benny was used as comic material for nearly a decade.

In the late 1950s and into the 1960s, a new generation of American comedians began to explore political topics, race relations, and sexual humor. Stand-up comedy shifted from quick jokes and one-liners to monologues, often with dark humor and cutting satire. Lenny Bruce became particularly influential in pushing the boundaries of what was considered acceptable entertainment (among comedians, such "boundary pushing" dates back at least to vaudeville in a traditional joke called The Aristocrats that comedians would tell usually only to each other). African American comedians such as Redd Foxx, long relegated to segregated venues, also began to cross over to white audiences at this time.

Stand-up comedy exploded during the 1970s, with several entertainers becoming major stars based on stand-up comedy performances. Stand-up expanded from nightclubs and theaters to major concerts in sports arenas. Richard Pryor and George Carlin followed Lenny Bruce's acerbic style to become counterculture icons. Steve Martin and Bill Cosby had similar levels of success with gentler comic routines. The older style of stand-up comedy was kept alive by Rodney Dangerfield and Buddy Hackett, who enjoyed revived careers. Television programs such as Saturday Night Live and The Tonight Show launched the careers of other stand-up comedy stars.

The great popularity of stand-up comedy led to a boom in stand-up comedy venues for both locally-based and touring comics in many cities. Many stand-up stars landed major television deals, and established television and film stars such as Robin Williams, Eddie Murphy, and Billy Crystal tested their comic skills with live stand-up comedy appearances. The advent of HBO (which could present comedians uncensored) and other cable channels such as Comedy Central added to the stand-up comedy boom.

By the 1990s, a glut of stand-up comedy led to its decline, as the market became somewhat flooded with comedians. Established stand-up comedians still commanded top ticket prices, however, and talented new comedians were presented with many smaller venues in which to establish themselves.

Many believe that Chris Rock's stand-up career, which took off in 1996 with his hugely popular special Bring the Pain, was incredibly influential in the resurrection of stand-up comedy that took place in the second half of the 1990s. By the 2000s, comedy had enjoyed a resurgence, not only because of Rock's popularity and success, but also because of newly accessible and popular media outlets such as the internet and television channels like Comedy Central. There is currently a renaissance of sorts occurring in the comedy world, with younger comics (often between the ages of fifteen and twenty nine) finding their way on stage and becoming the norm, evolving the art form in a new direction for a new age.

In the USA, New York City is still considered by many to be the heart of the stand-up scene, with many of the young rising stars as well as the top performers regularly trying out material at the Comedy Cellar when not on the road. Caroline's on Broadway is considered to be one of the top clubs in the country for headliners, with past performers including Andrew Dice Clay, Bill Hicks, Colin Quinn, Gilbert Gottfried, Mitch Hedberg, Jerry Seinfeld.

In New York City's Greenwich Village, comedy even flourishes outside of the stand-up club circuit. Theaters that are more known for sketch comedy, like the Upright Citizens Brigade Theater (UCB), as well as cabarets that do not exclusively offer any kind of comedy, like Rififi, have weekly comedy shows. The UCB Theater has "Crash Test" every Monday, hosted by Aziz Ansari. Rififi has "Invite Them Up", hosted by Bobby Tisdale and Eugene Mirman.

Some might even say these places are helping develop a new form of comedy -- alternative comedy -- which involves more character-based, surreal, or absurd humor as opposed to observations of everyday life or more polemical themes. A growing number of comics (Demetri Martin, Slovin and Allen, Andres du Bouchet) do not strictly get on stage and tell jokes, opting to play music or act out sketches, making their performances more similar to vaudeville than to traditional stand-up.

Los Angeles is the other major market for US stand-up comedy, being a home to much of the American entertainment industry, as well as providing stand-up comics with the greatest opportunity to branch out into television and film. The Los Angeles comedy scene consistently showcases many of the most well-known comics in the world regularly playing at major comedy venues, such as The Laugh Factory, the Hollywood Improv, and the Comedy Store. Prominent figures in the L.A. comedy scene have included Dane Cook, Kathy Griffin, Dom Irrera, Jim Carrey, Jay Leno, and many others. There is a newly burgeoning comedy scene in the North Hollywood and Silverlake areas of Los Angeles, as these areas have experienced an influx of artists over the past decade as the housing costs in West Los Angeles have risen.

On television, Last Comic Standing has brought milder stand-up comedy into the homes of persons who otherwise wouldn't partake.

Outside of the United States, there is a burgeoning stand-up comedy scene in Canada, the UK, Ireland, and the Netherlands, with major comedy, film, and entertainment industry festivals occurring in all of these locations. Not only this, some comedians are using their stand-up work to make an impact on international relations or to promote peace and understanding across cultures. For example, the "Allah Made Me Funny--Official Muslim Comedy Tour" is an example of three American Muslim comedians (Preacher Moss, Azhar Usman, and Azeem) using humor generally and stand-up comedy in particular to ease tensions between Muslims and non-Muslims, promote better understanding of Muslim culture and practices, and dish out social commentary about topics related to Muslim life in America.

Stand-up comedy is the focus of three major international festivals: the Edinburgh Fringe Festival in Edinburgh, Scotland; Just for Laughs in Montreal, Canada; the Melbourne International Comedy Festival in Melbourne, Australia; and a number of smaller comedy festivals, most prominently the Boston Comedy and Film Festival and the New York Underground Film Festival. The festival format has proven to be quite successful at attracting attention to the art form, and is often used as a scouting and proving ground by industry professionals seeking new comedic talent.

(wikipedia-the free encyclopedia)